Medan, – Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Riadil Akhir Lubis yang juga selaku Pusat Pengendali Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Sumut membantah adanya keuntungan yang diperoleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dari pembelian paket bantuan sembako seharga Rp225.000 per paket. Karena harga ditentukan berdasarkan hasil survei dan ketentuan dalam proses pengadaan barang jasa (PBJ).
Hal itu disampaikan Riadil Akhir Lubis didampingi Kepala Biro Humas dan Keprotokolan Setdaprov Sumut Hendra Dermawan Siregar, Jumat (15/5), di Posko Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Sumut, Pendopo Rumah Dinas Gubernur Sumut Jalan Jenderal Sudirman Nomor 41 Medan, terkait adanya pemberitaan mengenai selisih harga pasar dengan harga pembelian paket sembako bantuan Pemprov Sumut.
Diinformasikan bahwa pengadaan sembako ini bersumber dari APBD Provinsi Sumatera Utara, sehingga pengadaannya wajib melalui proses pengadaan barang dan jasa sebagaimana di atur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018. Pengadaan sembako ini mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pembangunan daerah terutama dalam menyikapi dampak sosial Covid-19 kepada masyarakat.
Pengadaan sembako ini juga memberikan pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya dan berkontribusi dalam peningkatan dan penggunaan produk dalam negeri serta peningkatan peran usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah.
Riadil menjelaskan, paket bantuan sembako seharga Rp225.000/paket terdiri dari beras 10 kg, gula 2 kg, minyak makan 2 liter dan mi instan 20 bungkus. Harga Rp225.000 ini pembagiannya pertama didasarkan pembagian alokasi anggaran Rp300 miliar lebih kurang dibagi dengan jumlah kuota kabupaten/kota yaitu 1.321.426 KK dengan 4 item tadi.
“Harga Rp225.000 ini kita cari lah 4 item harga ini melalui harga survei, yang bersumber nilainya dari perkulakan, grosir, mall, eceran, pajak dan lain-lain, termasuk harga rujukan dari Dinas Perdagangan Sumut,” jelasnya.
Berdasarkan hasil survei kemudian diambil hargai rata-rata beras, gula, minyak makan dan mi instan. Di dalam harga Rp225.000 ini juga termasuk harga kepada perusahaan, yaitu untuk packaging atau kemasannya. “Bukan seperti menenteng mi instan dalam jumlah sedikit atau satuan. Ini paket, harus ada proses pamaketan. Kemudian juga keuntungan perusahaan yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dan harga yang wajar,” terangnya.
Kemudian, kata Riadil, dalam proses penyaluran kepada penerima manfaat diperlukan biaya pengangkutan ke daerah yang dituju, dan biaya tersebut telah masuk di dalamnya. Perusahaan juga harus sewa gudang untuk menyimpan sementara paket sembako karena jumlahnya mencapai ratusan ribu paket.
“Sebagai contoh, berbeda dengan membeli sebungkus mi instan di kedai. Kalau di kedai beli sebungkus kan bisa ditenteng. Dengan jumlah yang ratusan ribu gini apa bisa ditenteng? Makanya perlu sewa gudang. Kemudian ada juga biaya pengangkutan dari lokasi pembelian ke gudang mereka, kemudian ke kabupaten/kota. Jadi itu, tidak bisa diperbandingkan beli sebungkus di kedai, karena ada hal-hal yang harus ditanggung perusahaan packaging, keuntungan perusahaan, sewa gudang dan pengangkutan, termasuk risiko lain yang harus ditanggung, misalnya dalam proses pengiriman dan kerusakan bahan pokok” jelas Riadil
Adanya biaya ke perusahaan itu yang membuat harga paket bantuan sembako berbeda dengan harga di pasaran. ‘’Jadi tidak bisa diperbandingkan. Insya Allah ini semua bisa dipertanggung jawabkan. Silahkan masyarakat mengawasinya. Atau memberikan masukan-masukan. Jadi itu penjelasannya dari harga satu paket Rp225.000, Yang pasti, jangan ada satupun masyarakat calon penerima tidak mendapatkan sembako. Mari kita kawal bersama. Jika terjadi ada warga yang belum mendapatkan paket sembako, silahkan melapor ke Pemerintah Setempat, atau Kepala Lingkungan/kepala desa/Lurah/Camat” dan diminta kepada Kabupaten/kita untuk bisa mengawal dan menyikapinya,” ujar Riadil.**
#humasprovsu
#badanpenghubungdaerahprovsu